Kewajiban Menaati Umara
KEWAJIBAN MENAATI UMARA
Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari
Menaati umarâ’ dalam perkara yang makrûf adalah sebuah kewajiban bagi setiap Muslim.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ`/4:59]
Sementara itu banyak sekali hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan perkara ini. Nash-nash hadits tersebut menjelaskan bahwa mentaati waliyul amri atau umarâ’ dalam perkara makrûf adalah kewajiban yang sangat penting dan membawa berbagai maslahat serta dapat menolak berbagai mafsadat. Dalam bingkai perkara makrûf inilah rakyat wajib mentaati waliyul amri. Rakyat tidak boleh mentaati penguasa jika mereka diperintahkan berbuat maksiat. Akan tetapi mereka tidak boleh memberontak penguasa karenanya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِيْ مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ وَلاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ فَإِنَّ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ مَاتَ مِيْتَةَ الجَاهِلِيَّةِ
Barangsiapa melihat sebuah perkara maksiat pada diri pemimpinnya, maka hendaknya ia membenci kemaksiatan yang dilakukannya dan janganlah ia membangkang pemimpinnya. Sebab barangsiapa melepaskan diri dari jama’ah lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَلىَ المَرْءِ السَّمْعُ وَ الطَّاعَةُ فِي المَنْشَطِ وَ المَكْرَهِ وَ فِيْمَا أَحَبَّ وَ كَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara’) dalam saat lapang maupun sempit, pada perkara yang disukainya ataupun dibencinya selama tidak diperintah berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa akan ada penguasa yang padanya terdapat perkara makruf dan perkara mungkar, seorang Sahabat bertanya kepada beliau : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: “Tunaikanlah hak-hak mereka dan mintalah kepada Allah Azza wa Jalla hak-hak kamu.”
Hal itu menunjukkan larangan merampas kekuasaan waliyul amri dan larangan memberontak. Karena pemberontakan terhadap penguasa akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah dan kejahatan yang lebih besar. Sehingga stabilitas keamanan akan terguncang, hak-hak akan tersia-siakan, pelaku kejahatan tidak dapat ditindak, orang-orang terzhalimi tidak dapat tertolong dan jalur-jalur transportasi akan kacau. Jelaslah, memberontak penguasa akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أُصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَ السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ إِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ, فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِالخُلَفَاءِالرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي, تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذْ
Aku wasiatkan kamu agar selalu bertakwa, patuh dan taat (kepada pemimpin) walaupun yang memimpin kamu adalah seorang budak. Sebab siapa saja yang hidup sepeninggalku, ia pasti melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafâ’ Râsyidin setelahku. Peganglah ia erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu (sungguh-sungguhlah).”[1]
Hadits ini sangat sejalan dengan ayat di atas.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِيْ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَ مَنْ عَصَى أَمِيْرِيْ فَقَدْ عَصَانِيْ
Barangsiapa mentaati pemimpin, berarti ia telah mentaatiku, barangsiapa membangkang kepada pemimpin berarti ia telah membangkang kepadaku. [HR.Ahmad no. 3418; 4122; 7335; 6604]
Dan masih banyak lagi hadist-hadits lain yang menganjurkan kita supaya patuh dan taat. Di antaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اِسْمَعْ وَ أَطْعْ وَإِنْ أُخِذَ مَالُكَ وَضُرِبَ ظَهْرُكَ
Patuh dan taatlah meskipun hartamu diambil dan punggungmu dipukul.
Intinya, pemerintah Muslim yang berdaulat wajib ditaati dalam bingkai ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Jika pemerintah menyuruh berbuat maksiat, janganlah ditaati. Yaitu, janganlah lakukan maksiat yang diperintahkannya itu. Namun dalam perkara yang bukan maksiat hendaklah ditaati.[2]
Mu’âwiyah z berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ لَهُ إِمَامٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa meninggal dalam keadaan tidak memiliki imam maka matinya mati jahiliyah.[3]
Hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwa sangat diharamkan menyempal dari jama’ah kaum Muslimin dan memberontak terhadap pemimpin kaum Muslimin serta membatalkan bai’at yang telah diberikan. Namun bagaimana bila kondisi negeri kaum Muslimin terpecah-pecah menjadi banyak negeri dan memiliki banyak penguasa, atau penguasa-penguasa yang berdaulat di negeri-negeri kaum Muslimin itu memegang kekuasaan tidak melalui prosedur syar’i? atau pemimpin yang berdaulat itu tidak memenuhi kriteria syar’i, haruskah taat kepada penguasa-penguasa tersebut seperti yang tertera dalam hadits-hadits di atas?
Suatu realita yang tak bisa ditolak adalah bahwa bangsa-bangsa kafir telah mencerai-beraikan negeri-negeri kaum Muslimin, sehingga mereka terpecah belah menjadi negara-negara kecil. Sebenarnya realita ini sudah digambarkan dalam hadits `Abdullah bin Hawâlah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kelak akan disiagakan beberapa kelompok pasukan. Satu kelompok pasukan di Syam. Satu kelompok pasukan di Iraq dan satu kelompok pasukan di Yaman.”
Aku berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pilihkanlah buatku!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah engkau mengikuti kelompok pasukan di Syam. Barangsiapa yang enggan hendaklah ia mengikuti kelompok pasukan di Yaman dan hendaklah ia meneguk minuman dari mata airnya. Sebab Allah Azza wa Jalla telah mencukupiku dengan negeri Syam dan penduduknya.”
Rabi’ah berkata: “Saya mendengar Abu Idris al-Khaulâni menceritakan hadits ini lalu berkata: “Barangsiapa telah dicukupkan Allah Azza wa Jalla dengan sesuatu maka ia tidak akan tersia-sia selamanya.”[4]
Asy-Syaukâni rahimahullah berkata, “Adapun setelah tersebarnya Islam dan meluasnya daerah kekuasaan Islam, berjauhannya antara satu wilayah dengan wilayah lain, maka dimaklumi bahwa setiap wilayah itu dipimpin oleh Imam atau sultan. Namun setiap sultan tidak memiliki kekuasaan untuk memerintah dan melarang di wilayah yang bukan wilayah kekuasaannya. Kekuasaannya terbatas hanya pada wilayah yang dikuasainya. Setiap sultan sudah dibai’at wajib ditaati oleh masyarakat yang berada di bawah kekuasaannya.
Apabila ada pihak-pihak yang berusaha memberontak pada wilayah kekuasaannya dan tidak bertaubat, maka hukumnya boleh diperangi.
Bagi masyarakat yang tidak berada dalam wilayah kekuasaannya, tidaklah wajib menaatinya atau masuk ke dalam wilayah kekuasaannya. Disebabkan tempat mereka yang saling berjauhan maka berita-berita tentang Imam atau sultan wilayah itu barangkali tidak sampai kepada mereka. Mereka mungkin bahkan tak mengetahui siapakah yang memimpin mereka atau mungkin Imam tersebut sudah mati. Sehingga mewajibkan ketaatan kepada mereka dalam kondisi seperti ini, adalah pembebanan yang tidak dapat disanggupi. Ini adalah perkara yang sudah dimaklumi oleh setiap orang yang menelaah kondisi masyarakat dan negeri-negeri mereka.
Ketahuilah hal ini, karena sangat selaras dengan kaidah-kaidah syar’i dan sejalan dengan kandungan dalil-dalil. Biarkan saja pendapat-pendapat yang menyelisihinya. Karena sesungguhnya perbedaan antara wilayah kekuasaan Islam di masa-masa awal Islam dan kondisi negeri-negeri Islam sekarang ini sangat jelas. Barangsiapa yang mengingkari hal ini, berarti ia telah menolak suatu perkara yang sudah jelas dan tidak layak dilawan dengan hujjah, karena ia tidak mengerti hujjah.”[5]
Ini menegaskan kepada kita bahwa realita yang dihadapi oleh kaum Muslimin sekarang ini dengan banyaknya penguasa-penguasa negeri kaum Muslimin adalah suatu hal yang dimaklumi. Rakyat setiap negara tersebut wajib menaati penguasa dan pemerintahnya dalam perkara yang makrûf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menurut as-Sunnah, kaum Muslimin harus memiliki satu Imam sementara yang lain adalah wakil-wakilnya. Kalau sekiranya umat keluar dari kekuasaan itu karena pembangkangan sebagian darinya atau ketidakmampuan memimpin sebagian lainnya atau sebab-sebab lain sehingga umat memiliki banyak imam, maka setiap imam wajib menegakkan hudûd dan menunaikan hak-hak manusia.”[6]
Artinya, apabila kenyataannya umat Islam memiliki lebih dari satu imam, maka setiap kaum Muslimin yang berada dalam satu wilayah wajib menaati imam yang memerintah pada wilayah tersebut.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb rahimahullah berkata, “Para Ulama dari semua madzhab sepakat bahwa siapa saja yang menguasai suatu negeri atau wilayah maka status hukumnya sama seperti imam dalam seluruh aspek kenegaraan. Kalau tidak demikian, niscaya tidak akan tegak urusan dunia. Karena umat manusia sudah semenjak dahulu, sebelum masa imam Ahmad sampai sekarang ini, tidaklah sepakat atas satu imam. Namun tidak ada seorang Ulama pun yang menyebutkan bahwa salah satu dari hukum-hukum kenegaraan tidak berlaku atasnya kecuali atas al-imam al-a’zham.”[7]
Seperti itulah kenyataan yang berlaku sekarang. Kaum Muslimin menduduki beberapa wilayah yang berbeda pemerintahan dan penguasanya. Masing-masing wilayah memiliki kedaulatan dan kekuasaan yang berdiri sendiri tanpa dicampuri oleh yang lainnya. Maka tidak boleh seseorang mengatakan, “Aku hanya mau tunduk kepada al-imam al-a’zham, tidak kepada imam-imam kecil ini.” Atau mengatakan, “Imam-imam kecil ini tidak sah dan tidak perlu ditaati.” Sebab dengan demikian ia telah menyelisihi ijma’ para Ulama dan mengingkari kenyataan yang berlaku. Tidak ada Ulama salaf yang mendukung perkataannya itu. Intinya, setiap kaum Muslimin harus taat dalam perkara yang makrûf kepada waliyul amri yang memerintah negeri mereka, walaupun kenyataannya negeri-negeri mereka terpisah satu sama lainnya.
Demikian pula halnya bila seorang imam berkuasa atas satu negeri dengan kekuatannya atau dengan cara-cara lainnya yang tidak melalui prosedur syar’i, misalnya melalui kekuatan bersenjata atau kesepakatan masyarakat suatu wilayah atau dipilih dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat. Masyarakat negeri itu harus tetap taat dan patuh kepadanya, selama ia menyuruh kepada perkara makrûf.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Siapa saja yang berkuasa atas mereka (kaum Muslimin) dengan pedangnya (kekuatannya) hingga menjadi khalifah dan dipanggil amirul Mukminin, maka tidak halal bagi siapapun yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan hari akhirat melewati malam tanpa memandangnya sebagai Imam, baik orang itu seorang yang shâlih maupun fâsiq.”[8]
Imam Ahmad rahimahullah berhujjah dengan atsar dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma bahwa ia berkata, “Aku shalat bermakmum di belakang siapa saja yang berkuasa.”[9]
Ibnu Sa’d telah meriwayatkan dalam kitab ath-Thabaqâtnya dari Zaid bin Aslam bahwa Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma pada masa fitnah, maka siapa saja amir yang berkuasa beliau tetap shalat bermakmum di belakangnya dan menyerahkan zakat hartanya kepadanya.”[10]
Al-Bukhâri meriwayatkan dari Abdullah bin Dinar rahimahullah yang berkata, “Aku menyaksikan `Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma ketika orang-orang sudah menyepakati kepemimpinan `Abdul Malik, beliau rahimahullah menulis, “Sesungguhnya aku mengikrarkan ketaatan dan kepatuhan kepada hamba Allah Azza wa Jalla , Abdul Mâlik, Amirul Mukminin, berdasarkan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan sunnah Rasul-Nya sebatas kemampuanku. Dan sesungguhnya anak-anakku juga mengikrarkan seperti itu juga.”[11]
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah menjelaskan maksud perkataan, “Ketika orang-orang sudah menyepakati kepemimpinan Abdul Mâlik (Ibnu Marwân bin al-Hakam). Yang dimaksud kesepakatan di sini adalah kesatuan kalimat yang sebelumnya terpecah. Sebelumnya ada dua pemimpin yang berkuasa di negeri kaum Muslimin, keduanya sama-sama mengklaim dirinya khalifah. Yaitu `Abdul Mâlik bin Marwân dan `Abdullah bin az-Zubair. Dan selama masa konfrontasi tersebut Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma menolak memberikan baiat kepada Ibnuz Zubair maupun kepada Abdul Mâlik. Dan ketika Abdul Mâlik berhasil mengambil alih kekuasaan dan kepemimpinan telah dipegangnya, maka Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma pun membaiatnya.
Demikian pula Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma menahan baiatnya kepada Ali atau Mu’awiyah Radhiyallahu anhuma ketika masih terjadi perselisihan antara keduanya. Ketika al-Hasan Radhiyallahu anhuma berdamai dengan Mu’awiyah Radhiyallahu anhu dan kepemimpinan diserahkan kepada Mu’awiyah Radhiyallahu anhu, maka Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma pun membaiatnya. Kemudian Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma membaiat Yazîd bin Mu’âwiyah sepeninggal Mu’âwiyah karena kaum Muslimin telah sepakat mengangkatnya. Dan ketika terjadi perselisihan antara Ibnuz Zubair dan Abdul Mâlik, Ibnu Umar z kembali menahan baiatnya sampai akhirnya kekuasaan dipegang oleh Abdul Mâlik, maka ia pun membaiatnya.”[12]
Apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma ini, yaitu membaiat pemimpin yang menang dan berkuasa, merupakan perkara yang telah disepakati oleh para Ulama.
Al-Baihaqi telah meriwayatkan dalam kitab Manâqib asy-Syâfi’i dari Harmalah, ia berkata, “Aku mendengar asy-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Siapa saja yang mengambil alih kekhalifahan dengan pedangnya hingga ia disebut khalifah dan orang-orang telah menyepakatinya, maka dialah khalifah.”[13]
Ijmâ’ ini juga sudah dinyatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri, ia mengatakan, “Para ahli fiqh telah sepakat wajibnya menaati sultan yang menang dan berkuasa, wajib ikut jihad bersamanya. Menaatinya lebih baik daripada membangkang terhadapnya. Karena hal itu dapat mencegah tertumpahnya darah dan dapat menenangkan masyarakat banyak.”
Ketaatan dan kepatuhan ini berlaku, walaupun yang menang dan berkuasa memperoleh kekuasaannya tanpa melalui prosedur yang disyariatkan. Juga walaupun ia seorang yang tidak memenuhi syarat-syarat kepemimpinan atau seorang yang fâsiq.
Al-Ghazzâli berkata, “Kalau sekiranya tidak ditemukan sifat wara’ dan ilmu pada orang yang memegang kekuasaan, misalnya yang menang dan berkuasa itu adalah seorang yang jahil hukum syariat atau orang fâsiq sementara menyingkirkannya akan menimbulkan fitnah yang tak dapat dibendung, maka kita harus mengakui kepemimpinannya.”[14]
Asy-Syâthibi rahimahullah menambahkan, “Adapun apabila telah ditetapkan suatu kepemimpinan dengan cara pembaiatan atau penobatan putera mahkota terhadap seseorang yang tidak memiliki derajat sebagai mujtahid, namun kekuatan telah berporos padanya, dan rakyat tunduk kepadanya serta karena pada masa itu tidak ada seorang pun mujtahid dari suku Quraisy yang menemuhi kriteria kepemimpinan, maka kepemimpinan orang tersebut harus dilanjutkan. Jika ditakdirkan munculnya seorang mujtahid dari suku Quraisy yang memenuhi kriteria kepemimpinan, namun kaum Muslimin akan terhempas dalam api fitnah bila ingin melengserkan kepemimpinan yang awal, kondisi bisa menjadi goncang, maka tidak boleh melengserkan atau menggantinya. Bahkan mereka tetap wajib menaatinya dan mengakui kekuasaan dan keabsahaan kepemimpinannya.”[15]
Dalam membawakan riwayat dari Mâlik tentang kisah bai’at Ibnu Umar Radhiyallahu anhu kepada `Abdul Mâlik, kemudian asy-Syâthibi rahimahullah berkata, “Zhahir riwayat ini menunjukkan bahwa jika melengserkan pemimpin yang tak sesuai kriteria syar’i dan menggantinya dengan pemimpin yang sesuai kriteria syar’i dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dan kondisi yang tidak baik, maka maslahat menuntut untuk tidak dilengserkan.”
Artinya, meskipun pemimpin itu tidak memenuhi kriteria syar’i, misalnya seorang fasiq, jahil atau lainnya, kaum Muslimin yang berada di wilayah kekuasaannya harus taat kepadanya dalam perkara-perkara yang makruf.
Ada beberapa kesimpulan yang dapat kita petik dari pembahasan di atas:
- Wajib hukumnya menaati Umarâ’ (pemimpin) dalam perkara-perkara yang makruf dalam keadaan suka maupun tak suka.
- Tidak boleh menaati pemimpin apabila ia menyuruh kepada perkara mungkar, sebab tidak ada ketaatan dalam rangka maksiat kepada Allah Azza wa Jalla .
- Realita terpecah-pecahnya negeri-negeri kaum Muslimin dan munculnya banyak umarâ merupakan suatu realita yang sudah dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Kaum Muslimin tetap wajib menaati dan mematuhi pemimpin yang memimpin negeri-negeri kaum Muslimin tersebut.
- Siapa saja pemimpin yang berkuasa melalui prosedur apapun dan disepakati kekuasaannya oleh kaum Muslimin, baik prosedur syar’i maupun tidak syar’i, tetap harus ditaati sebagai pemimpin yang sah. Misalnya pemimpin yang berkuasa melalui kekuatan senjatanya sehingga orang-orang tunduk di bawah kekuasaannya.
- Apabila pemimpin yang disepakati itu tidak memenuhi kriteria pemimpin menurut syari’at, misalnya ia adalah orang yang jahil atau fâsiq, maka tetap harus ditaati; karena dengan melengserkannya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar dan fitnah yang lebih hebat lagi.
- Memberontak penguasa yang sah hanya akan menimbulkan huru hara dan kerugian bagi kaum Muslimin.
Referensi:
- Mu’âmalatul Hukkâm fî Dhau’il Kitâb was Sunnah, Abdus Salâm bin Barjas.
- Fathul Bâri syarah Shahîh al-Bukhâri, Ibnu Hajar al-Asqalâ
- Koreksi Total Seputar Masalah Politik Dan Pola Pemikiran Menurut Al-Qur’an Dan As-Sunnah Tanya Jawab Seputar Masalah Politik Dan Perkembangan Pemikiran Bersama Syaikh Abdul Azîz bin `Abdullah bin Bâz, Syaikh Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân, Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlaan disusun oleh Abdullah bin Muhammad Ar-Rifa’i.
- Mausû’ah Manâhi Syar’iyyah, Syaikh Sâlim bin ‘Ied al-Hilâ
- Adâb asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih.
- Mausû’ah al-Adâb al-Islâmiyyah, Abdul Azîz bin Fathi as-Sayyid Nadâ.
- al-Ahkâm ash-Shulthâniyyah, al-Mâ
- al-I’thishâm, asy-Syâ
- Ushûlus Sunnah Imam Ahmad bin Hambal.
- al-Jamâ’ât al-Islâmiyyah fî Dhau’il Kitâb was Sunnah, Sâlim bin ‘Ied al-Hilâli
- Madârikun Nazhar fis Siyâsah asy-Syar’iyyah, Abdul Mâlik ar-Ramadhâni.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1430/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR Abu Dâwud dan Tirmidzi dalam shahîh dan dhaîf kitab al-Adzkâr no. 1263/995
[2] Koreksi Total Seputar Masalah Politik Dan Pola Pemikiran Menurut Al-Qur’an Dan As-Sunnah Tanya Jawab Seputar Masalah Politik Dan Perkembangan Pemikiran Bersama Syaikh `Abdul Azîz bin `Abdullâh bin Bâz, Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Syaikh Shâlih bin Ghânim As-Sadlân Disusun oleh Dr.`Abdullâh bin Muhammad ar-Rifâ’i.
[3] Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (IV/96), Ibnu Hibbân (4573), ath-Thabrâni (XIX/769) dari jalur Abu Bakar bin Abbâs dari ‘Ashim bin Abi An-Nujûd dari Abu Shâlih dari Mu’awiyah z .
[4] Shahîh, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam kitab Takhrîj Ahâdiits Syam wa Dimasyq halaman 2.
[5] As-Sailul Jarrar (IV/512).
[6] Majmû’ Fatâwa (35/175-176).
[7] Ad-Durarus Saniyyah fil Ajwibah an-Najdiyyah (VII/239).
[8] Thabaqât al-Hanâbilah tulisan Ibnu Abi Ya’lâ (I/241-246).
[9] Al-Qadhi Abu Ya’la menyebutkan dalam al-Ahkâm ash-Shulthâniyyah (halaman 23) dari riwayat Abul Harits dari Ahmad.
[10] Thabaqât Ibnu Sa’d (IV/193).
[11] Kitab al-Ahkâm bab, “Bagaimana orang-orang membaiat imam?”
[12] Fathul Bâri XIII/240-241.
[13] Manâqib asy-Syâfi’i (I/448).
[14] Ihyâ’ Ulûmuddîn (II/233).
[15] Al-I’thishâm (II/625-627).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/50271-kewajiban-menaati-umara.html